Assalamu'alaikum, good day all.
Saya bukan anak Jaksel atau anak manalah yg sekarang lagi jadi sorotan katanya suka ngomong campur-campur bahasa Indonesia dan Inggris ya. Hehehe. Sengaja begini gaya ngomongnya biar nyambung aja dengan isi blog. Sudah sejak pertamakali nulis blog ini tahun 2011, gayanya ya begini ini. Auranya 'dapet' kalo kata orang. Kadang-kadang Bahasa Inggris terpaksa dibiarkan seperti semula karena sulit dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia. Ah, ngomong apa sih...
Sesuai judul, mau coba cerita tentang film Indonesia Wiro Sableng, kebetulan weekend lalu nonton bareng suami dan anak di XXI Mall Nipah, Makassar. Maaf kalau alur ceritanya nggak beraturan, disambi dengan ngobrol dengan suami di WA. Beliau lagi di Brastagi dengan bapak-bapak perhotelan, ngirim foto-fotonya juga. Semoga nggak ketuker dengan gambar-gambar yg mau saya upload di sini. Heheu.
Kalau ditanya kenapa jarang sekali membahas film-film negeri sendiri? Sebenarnya pengeeen. Hanya saja, tahu sendiri ya, tipikal sebagian besar masyarakat kita sepertinya tidak siap dikritik. Sementara urusan review film itu tidak selalu menyenangkan, bacanya pakai logika dan open mind aja. Ini murni karya seni, sah-sah saja ada kritikan masuk. Istilahnya, no hard feeling. Kalau reviewer profesional bisa lebih tajam lagi. Kritik dan pujian justru jadi bahan koreksi yg dinanti insan perfilman untuk karya mereka selanjutnya. Tapi banyak dari masyarakat Indonesia sekarang yg ajaib-ajaib. Sulit berpikir jernih dan seringkali merasa paling benar sendiri. Pada sensitif. Senggol, bacok. Trus nanti ada serangan balik yg akhirnya tidak produktif. Itu yg saya pikir sebaiknya saya hindari. Kalau saya kecewa dan nggak suka, aksi saya "aksi senyap" saja. Cukup dengan mematikan teve atau pindah channel (kalau itu sinetron) dan tidak pergi nonton di bioskop (kalau itu film). Selesai.
Tapi kalau ada film layar lebar tanah air yg bagus, why not? Seperti film Si Doel dan Sultan Agung yg kelewatan ditonton barusan, insyaAllah nanti mau saya masukin di sini kok. Sekarang belum karena kan belum nonton langsung. Balik ke Wiro Sableng, film yg diangkat dari komik karya Sebastian Tito ini pernah tayang di televisi Indonesia dalam bentuk sinetron laga sekitar tahun 1990an. Saya masih SMA waktu itu. Setia ngikutin sih nggak tapi kalo pas lihat, saya duduk juga nonton. Sampe sekarang lirik lagunya melekat di kepala. Hehehe. Sebetulnya ketimbang karakter Wiro Sableng yg diperankan Ken Ken, saya lebih enjoy penampilan akting Tien Kadaryono si pemeran Sinto Gendeng. Dia yg bikin saya betah duduk berlama-lama. Plus aksi silatnya tentu saja.
Saat versi layar lebar 2018 ini dibuka, saya terkesan dengan kenyataan rumah produksi lokal sekarang sudah bekerjasama dengan rumah produksi Hollywood sekaliber 20th Century Fox. Adegan Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) dan pasukannya yg berupa siluet hitam di bawah bulan merah besar juga keren sekali, apalagi ada suara clear commanding voice Mahesa (terlepas dari hasil dubbing atau bukan). Imajinasi saya langsung terbang ke para Pandawa dari kisah Mahabharata dalam cergam masa kecil dulu. Ternyata tampilan sesungguhnya tidak seperti itu. Seiring perjalanan durasi, banyak tokoh villains dengan karakter beragam.
Buat saya, yg agak mengecewakan mungkin hanya adegan perkelahian pembuka. Perkelahian antara Mahesa dan Ranaweleng (Marcel Siahaan) banyak menggunakan trik yg kurang halus. Bila diperhatikan betul, beberapa pukulan Mahesa sebenarnya belum kena tapi Ranaweleng sudah terlempar atau terluka duluan. Adegan pembunuhan Suci (Happy Salma) juga ada sedikit kesalahan kecilnya. Jika benar yg saya lihat lehernya dipatahkan, mestinya saat jatuh ke tanah, Suci sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Tidak ada gerakan apapun lagi, apalagi sempat mengeluarkan airmata--cmiiw. Bicara begini bukan berarti sudah pernah merasakan leher dipatahin ya, Na'udzubillah. Ini dari hasil mengamati dan nyari tahu dong.
Film mulai makin menarik dengan kemunculan Sinto Gendeng (Ruth Marini). Selain rambut putihnya yg mestinya bisa dibuat terlihat lebih tebal dengan riasan wajah natural layaknya nenek-nenek, penampilan aktris tempaan teater ini berkesan sekali. Saya selalu suka dengan pendalaman seni peran para jebolan teater. Mereka beda, tampak lebih berkarakter dan percaya diri. Tokoh Wiro Sableng diperankan oleh aktor Vino G. Bastian, putra dari sang penulis komik sendiri, mendiang Bastian Tito. Bagi yg tidak tahu bahwa tokoh Wiro Sableng ini ya emang sableng, mungkin akan mengira Vino belum bisa lepas dari karakter Kasino-nya Warkop DKI yg diperankannya tahun lalu.
Saya juga terkesan dengan karakter-karakter yg dibawakan Fariz Alfarizi (Bujang Gila Tapak Sakti), Andy Rif (Dewa Tuak), Hanata Rue (Pendekar Pemetik Bunga), Dwi Sasono (Raja Kamandaka) dan Sherina Munaf (Anggini). Senang lihat ada wajah-wajah baru di kancah perfilman Indonesia seperti Fariz, Dwi Sasono, Hanata Rue dan si cantik Aghniny Haque (pemeran Putri Rara Murni, adik Raja Kamandaka). Kalau mau jujur, saban nonton film Indonesia tiga tahun belakangan ini, cukup bosan juga dengan wajah yg itu-itu saja seperti Reza Rahardian, Lukman Sardi dan Vino Bastian (Well, dua nama terakhir tokoh penting di film ini). Tapi Vino G. Bastian rasanya memang aktor yg paling pas untuk peran ini. Bastian Tito seakan memang menciptakan tokoh Wiro Sableng ini untuk putranya kelak.
Sementara tokoh yg dibawakan Fariz jadi semacam scene-stealer di sini. Dia berhasil mengundang tawa orang banyak, termasuk saya. Meskipun tidak banyak bicara, bahasa tubuh Hanata Rue sudah mewakili kata-kata. Aksi sang atlet tae kwondo Aghniny Haque juga cukup indah untuk disaksikan para penggemar film laga.
Kalau Yayan Ruhian tidak usah diragukan lagi. Dia ditempatkan di posisi Mahesa Birawa untuk suatu alasan kuat dan saya setuju, dia yg paling cocok membawakan karakter Mahesa yg tangguh dan bengis. Selain aktor senior, Yayan juga dikenal sebagai koreografer perkelahian (nah kayak gini kan sulit dicari padanan bahasa Indonesianya. Mau bilang fight choreografer nanti disangka keminggris, tapi dibilang koreografer perkelahian kok nggak enak bacanya ya?😁). Dengan kemampuan olah pencak silatnya yg dipadu dengan bakat seni perannya yg natural sekali, saya pikir aktor laga berdarah Sunda ini bakal sukses juga di kancah perfilman action internasional seperti Joe Taslim dan Iko Uwais. Maka ku follow segera akun IG-nya krn yakin dia bakal punya nama besar sebentar lagi. Insting-ku berkata begitu. Ceileee...
Suka banget dengan perkelahian antara Mahesa dan Wiro Sableng yg awalnya dibuat terkesan tidak seimbang, jadi tampak realistis sekali. Dari situ dengan sendirinya penonton jadi tahu betapa tangguhnya Mahesa sekaligus menjawab semua rasa penasaran setangguh apakah Mahesa itu dan memperlihatkan peran besar sang mantan guru Sinto Gendeng sebagai guru silat berilmu tinggi.
Untuk Sherina Munaf, saya terakhir nonton penampilan Sherina saat dia masih anak-anak dalam Petualangan Sherina, bersama Derby Romero. Zaman masih kuliah di Yogya dulu. Sudah lama sekali waktu berlalu ternyata. Saat itu pun kualitas aktingnya sudah nampak sangat bagus. Aktris cilik jenius anti mainstream kalo kata saya dulu. Sekarang putri tokoh nasional Triawan Munaf ini sudah menjelma jadi aktris serius berdedikasi tinggi. Bakat aktingnya bagus sekali dan dia sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk peran Anggini. Salute to the bone! Tak kalah mengejutkan adalah pemeran Guru Anggini. Lama setelah sampe rumah baru tahu kalo pemerannya adalah Andy Rif dan ternyata juga pernah seperguruan pencak silat dengan Yayan Ruhian. Aktingnya sebagai Dewa Tuak sangat meyakinkan. Kejutan lainnya adalah pemeran Raja Kamandaka yg baru tahu juga saya kalo aktor ini suami dari Widi AB Three. Dan kemunculan Ken Ken sebagai cameo dalam adegan perkelahian di warung makan. Suatu hal yg bagus menghadirkan karakter utama dari film asli ke dalam film remake. Sayang Tien Kadaryono tidak ikut ditampilkan. Padahal bisa jadi obat kangen buat saya yg dulu menanti-nanti kehadiran Sinto Gendeng versi beliau.
Secara keseluruhan, film Wiro Sableng ini keren pake banget! Dari sisi kualitas akting, semua membawakan tugasnya dengan baik, meskipun well, saya berharap jatah dialog Permaisuri sedikit lebih banyak dari yg ditampilkan di sini. Efek visualnya juga kualitas premium. Mudah-mudahan kalau ada sekuelnya, adegan-adegan perkelahiannya menitikberatkan pada banyak poin lebihnya. Lebih lama, lebih realistis dan lebih banyak perkelahian sungguhannya dibanding perkelahian menggunakan trik. Saya bangga sekali film-film Indonesia sekarang makin bermutu, digarap sungguh-sungguh dan khusus Wiro Sableng, banyak menampilkan khasanah budaya nusantara antara lain busana tradisional wanita dan seni bela diri Pencak Silat.
[WARNING SPOILERS!] Ceritanya sendiri tentang Wiro, anak yg orangtuanya dibunuh oleh pasukan penjahat yg dipimpin Mahesa Birawa, bekas murid Sinto Gendeng. Wiro diselamatkan Sinto Gendeng di tengah api yg melumat habis rumah keluarganya, dibawa ke Gunung Gede lalu dididik ilmu bela diri sampai layak mendapatkan Kapak Maut sebagai senjata gaib andalannya untuk berhadapan dengan Mahesa dan pasukannya. Gerombolan penjahat ini diupah adik kandung Raja, Werku Alit Dkk untuk menculik putera mahkota dan merebut tahta kerajaan. Dalam perjalanannya mencari Mahesa, Wiro Sableng bertemu dengan banyak kawan baru yg akhirnya bersedia membantunya. Dari sini petualangan mereka bergulir.
Selain yg sudah disebutkan di atas, pemain pendukung lainnya ada Marcella Zalianty (sebagai Permaisuri. Sayang tokoh yg diperankannya kurang banyak bicara, tapi saya tahu Marcella salah satu aktris berbakat), Marsha Timothy (sebagai Bidadari Angin Timur. Saya tidak tahu apakah tokoh ini juga ada atau tidak dalam versi komik. Kalau memang tidak ada, sepertinya memang sedikit berlebihan sih...), Cecep Arif Rahman (Bajak Laut Bagaspati), Lukman Sardi (Werku Alit), Yayu W. Unru (Kakek Segala Tahu), Dian Sidik (Kalingundil) dan Rifnu Wikana (Kalasrenggi).
Penulis Skenario terdiri dari Seno Gumira Ajidarma (penulis kesukaan saya ini), Tumpal Tampubolon dan Sheila Timothy. Wiro Sableng berdurasi 128 menit. Genre Action, Comedy, Adventure. Sudah dilengkapi subbtittle juga, so penonton dari kalangan ekspatriat tetap bisa menikmati film ini. Yg saya bahas ini film anyar dan nggak rugi merogoh kocek untuk nonton film yg satu ini. Masih tayang lho ini di bioskop. Yg belum #sableng silahkan ke bioskop. Eh... 😄
Oya,
Kalau boleh saran, penonton Indonesia sepertinya banyak yg belum bisa memilah apakah sebuah film layak ditonton anak-anak di bawah usia tertentu atau tidak. Selama nonton, kami terganggu sekali dengan tendangan kaki anak-anak batita di kursi di belakang kami. Sorry to say ya, saya bilang orangtuanya goblok. Bukan hanya karena tidak melarang anak-anak mengganggu kenyamanan oranglain tapi lebih karena tidak menyeleksi dulu apakah ini film yg layak ditonton anak-anak batita atau tidak. Banyak sekali adegan perkelahian yg sadis dalam Wiro Sableng. Anak kecil-kecil tentu belum siap menyaksikan. Jelas dikatakan rating Wiro Sableng adalah PG-13 (parental guiding-13 yg artinya anak-anak yg boleh nonton adalah yg sudah berusia 13 tahun ke atas dan tetap harus dengan bimbingan orangtua). Orangtua idealnya rajin mengedukasi diri, banyak upgrade ilmu, cari-cari bacaan dan pengetahuan biar paham banyak hal penting, termasuk soal parenting. Harus cerdas milih pola pengasuhan mana yg kira-kira paling cocok diterapkan di rumah. Ini juga berlaku buat saya dan suami. Anak kami sekarang usia 16 jelang 17 tahun di Bulan Pebruari nanti, tapi kami tetap selektif memilihkan tontonan dan bacaannya. Tidak sembarangan, asal ajak-asal beli. Ngatur cenderung mengekang juga nggak tapi mengarahkan anak itu perlu, menurut kami.
Selamat menonton ya. Wassalam.
.
#wirosableng
📷 Instagram Vino G. Bastian, Yayan Ruhian, Sherina Munaf, Andy Rif, Hanata Rue.
Saya bukan anak Jaksel atau anak manalah yg sekarang lagi jadi sorotan katanya suka ngomong campur-campur bahasa Indonesia dan Inggris ya. Hehehe. Sengaja begini gaya ngomongnya biar nyambung aja dengan isi blog. Sudah sejak pertamakali nulis blog ini tahun 2011, gayanya ya begini ini. Auranya 'dapet' kalo kata orang. Kadang-kadang Bahasa Inggris terpaksa dibiarkan seperti semula karena sulit dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia. Ah, ngomong apa sih...
Sesuai judul, mau coba cerita tentang film Indonesia Wiro Sableng, kebetulan weekend lalu nonton bareng suami dan anak di XXI Mall Nipah, Makassar. Maaf kalau alur ceritanya nggak beraturan, disambi dengan ngobrol dengan suami di WA. Beliau lagi di Brastagi dengan bapak-bapak perhotelan, ngirim foto-fotonya juga. Semoga nggak ketuker dengan gambar-gambar yg mau saya upload di sini. Heheu.
Kalau ditanya kenapa jarang sekali membahas film-film negeri sendiri? Sebenarnya pengeeen. Hanya saja, tahu sendiri ya, tipikal sebagian besar masyarakat kita sepertinya tidak siap dikritik. Sementara urusan review film itu tidak selalu menyenangkan, bacanya pakai logika dan open mind aja. Ini murni karya seni, sah-sah saja ada kritikan masuk. Istilahnya, no hard feeling. Kalau reviewer profesional bisa lebih tajam lagi. Kritik dan pujian justru jadi bahan koreksi yg dinanti insan perfilman untuk karya mereka selanjutnya. Tapi banyak dari masyarakat Indonesia sekarang yg ajaib-ajaib. Sulit berpikir jernih dan seringkali merasa paling benar sendiri. Pada sensitif. Senggol, bacok. Trus nanti ada serangan balik yg akhirnya tidak produktif. Itu yg saya pikir sebaiknya saya hindari. Kalau saya kecewa dan nggak suka, aksi saya "aksi senyap" saja. Cukup dengan mematikan teve atau pindah channel (kalau itu sinetron) dan tidak pergi nonton di bioskop (kalau itu film). Selesai.
Tapi kalau ada film layar lebar tanah air yg bagus, why not? Seperti film Si Doel dan Sultan Agung yg kelewatan ditonton barusan, insyaAllah nanti mau saya masukin di sini kok. Sekarang belum karena kan belum nonton langsung. Balik ke Wiro Sableng, film yg diangkat dari komik karya Sebastian Tito ini pernah tayang di televisi Indonesia dalam bentuk sinetron laga sekitar tahun 1990an. Saya masih SMA waktu itu. Setia ngikutin sih nggak tapi kalo pas lihat, saya duduk juga nonton. Sampe sekarang lirik lagunya melekat di kepala. Hehehe. Sebetulnya ketimbang karakter Wiro Sableng yg diperankan Ken Ken, saya lebih enjoy penampilan akting Tien Kadaryono si pemeran Sinto Gendeng. Dia yg bikin saya betah duduk berlama-lama. Plus aksi silatnya tentu saja.
Saat versi layar lebar 2018 ini dibuka, saya terkesan dengan kenyataan rumah produksi lokal sekarang sudah bekerjasama dengan rumah produksi Hollywood sekaliber 20th Century Fox. Adegan Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) dan pasukannya yg berupa siluet hitam di bawah bulan merah besar juga keren sekali, apalagi ada suara clear commanding voice Mahesa (terlepas dari hasil dubbing atau bukan). Imajinasi saya langsung terbang ke para Pandawa dari kisah Mahabharata dalam cergam masa kecil dulu. Ternyata tampilan sesungguhnya tidak seperti itu. Seiring perjalanan durasi, banyak tokoh villains dengan karakter beragam.
Buat saya, yg agak mengecewakan mungkin hanya adegan perkelahian pembuka. Perkelahian antara Mahesa dan Ranaweleng (Marcel Siahaan) banyak menggunakan trik yg kurang halus. Bila diperhatikan betul, beberapa pukulan Mahesa sebenarnya belum kena tapi Ranaweleng sudah terlempar atau terluka duluan. Adegan pembunuhan Suci (Happy Salma) juga ada sedikit kesalahan kecilnya. Jika benar yg saya lihat lehernya dipatahkan, mestinya saat jatuh ke tanah, Suci sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Tidak ada gerakan apapun lagi, apalagi sempat mengeluarkan airmata--cmiiw. Bicara begini bukan berarti sudah pernah merasakan leher dipatahin ya, Na'udzubillah. Ini dari hasil mengamati dan nyari tahu dong.
Film mulai makin menarik dengan kemunculan Sinto Gendeng (Ruth Marini). Selain rambut putihnya yg mestinya bisa dibuat terlihat lebih tebal dengan riasan wajah natural layaknya nenek-nenek, penampilan aktris tempaan teater ini berkesan sekali. Saya selalu suka dengan pendalaman seni peran para jebolan teater. Mereka beda, tampak lebih berkarakter dan percaya diri. Tokoh Wiro Sableng diperankan oleh aktor Vino G. Bastian, putra dari sang penulis komik sendiri, mendiang Bastian Tito. Bagi yg tidak tahu bahwa tokoh Wiro Sableng ini ya emang sableng, mungkin akan mengira Vino belum bisa lepas dari karakter Kasino-nya Warkop DKI yg diperankannya tahun lalu.
Saya juga terkesan dengan karakter-karakter yg dibawakan Fariz Alfarizi (Bujang Gila Tapak Sakti), Andy Rif (Dewa Tuak), Hanata Rue (Pendekar Pemetik Bunga), Dwi Sasono (Raja Kamandaka) dan Sherina Munaf (Anggini). Senang lihat ada wajah-wajah baru di kancah perfilman Indonesia seperti Fariz, Dwi Sasono, Hanata Rue dan si cantik Aghniny Haque (pemeran Putri Rara Murni, adik Raja Kamandaka). Kalau mau jujur, saban nonton film Indonesia tiga tahun belakangan ini, cukup bosan juga dengan wajah yg itu-itu saja seperti Reza Rahardian, Lukman Sardi dan Vino Bastian (Well, dua nama terakhir tokoh penting di film ini). Tapi Vino G. Bastian rasanya memang aktor yg paling pas untuk peran ini. Bastian Tito seakan memang menciptakan tokoh Wiro Sableng ini untuk putranya kelak.
Sementara tokoh yg dibawakan Fariz jadi semacam scene-stealer di sini. Dia berhasil mengundang tawa orang banyak, termasuk saya. Meskipun tidak banyak bicara, bahasa tubuh Hanata Rue sudah mewakili kata-kata. Aksi sang atlet tae kwondo Aghniny Haque juga cukup indah untuk disaksikan para penggemar film laga.
Kalau Yayan Ruhian tidak usah diragukan lagi. Dia ditempatkan di posisi Mahesa Birawa untuk suatu alasan kuat dan saya setuju, dia yg paling cocok membawakan karakter Mahesa yg tangguh dan bengis. Selain aktor senior, Yayan juga dikenal sebagai koreografer perkelahian (nah kayak gini kan sulit dicari padanan bahasa Indonesianya. Mau bilang fight choreografer nanti disangka keminggris, tapi dibilang koreografer perkelahian kok nggak enak bacanya ya?😁). Dengan kemampuan olah pencak silatnya yg dipadu dengan bakat seni perannya yg natural sekali, saya pikir aktor laga berdarah Sunda ini bakal sukses juga di kancah perfilman action internasional seperti Joe Taslim dan Iko Uwais. Maka ku follow segera akun IG-nya krn yakin dia bakal punya nama besar sebentar lagi. Insting-ku berkata begitu. Ceileee...
Suka banget dengan perkelahian antara Mahesa dan Wiro Sableng yg awalnya dibuat terkesan tidak seimbang, jadi tampak realistis sekali. Dari situ dengan sendirinya penonton jadi tahu betapa tangguhnya Mahesa sekaligus menjawab semua rasa penasaran setangguh apakah Mahesa itu dan memperlihatkan peran besar sang mantan guru Sinto Gendeng sebagai guru silat berilmu tinggi.
Untuk Sherina Munaf, saya terakhir nonton penampilan Sherina saat dia masih anak-anak dalam Petualangan Sherina, bersama Derby Romero. Zaman masih kuliah di Yogya dulu. Sudah lama sekali waktu berlalu ternyata. Saat itu pun kualitas aktingnya sudah nampak sangat bagus. Aktris cilik jenius anti mainstream kalo kata saya dulu. Sekarang putri tokoh nasional Triawan Munaf ini sudah menjelma jadi aktris serius berdedikasi tinggi. Bakat aktingnya bagus sekali dan dia sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk peran Anggini. Salute to the bone! Tak kalah mengejutkan adalah pemeran Guru Anggini. Lama setelah sampe rumah baru tahu kalo pemerannya adalah Andy Rif dan ternyata juga pernah seperguruan pencak silat dengan Yayan Ruhian. Aktingnya sebagai Dewa Tuak sangat meyakinkan. Kejutan lainnya adalah pemeran Raja Kamandaka yg baru tahu juga saya kalo aktor ini suami dari Widi AB Three. Dan kemunculan Ken Ken sebagai cameo dalam adegan perkelahian di warung makan. Suatu hal yg bagus menghadirkan karakter utama dari film asli ke dalam film remake. Sayang Tien Kadaryono tidak ikut ditampilkan. Padahal bisa jadi obat kangen buat saya yg dulu menanti-nanti kehadiran Sinto Gendeng versi beliau.
Secara keseluruhan, film Wiro Sableng ini keren pake banget! Dari sisi kualitas akting, semua membawakan tugasnya dengan baik, meskipun well, saya berharap jatah dialog Permaisuri sedikit lebih banyak dari yg ditampilkan di sini. Efek visualnya juga kualitas premium. Mudah-mudahan kalau ada sekuelnya, adegan-adegan perkelahiannya menitikberatkan pada banyak poin lebihnya. Lebih lama, lebih realistis dan lebih banyak perkelahian sungguhannya dibanding perkelahian menggunakan trik. Saya bangga sekali film-film Indonesia sekarang makin bermutu, digarap sungguh-sungguh dan khusus Wiro Sableng, banyak menampilkan khasanah budaya nusantara antara lain busana tradisional wanita dan seni bela diri Pencak Silat.
[WARNING SPOILERS!] Ceritanya sendiri tentang Wiro, anak yg orangtuanya dibunuh oleh pasukan penjahat yg dipimpin Mahesa Birawa, bekas murid Sinto Gendeng. Wiro diselamatkan Sinto Gendeng di tengah api yg melumat habis rumah keluarganya, dibawa ke Gunung Gede lalu dididik ilmu bela diri sampai layak mendapatkan Kapak Maut sebagai senjata gaib andalannya untuk berhadapan dengan Mahesa dan pasukannya. Gerombolan penjahat ini diupah adik kandung Raja, Werku Alit Dkk untuk menculik putera mahkota dan merebut tahta kerajaan. Dalam perjalanannya mencari Mahesa, Wiro Sableng bertemu dengan banyak kawan baru yg akhirnya bersedia membantunya. Dari sini petualangan mereka bergulir.
Selain yg sudah disebutkan di atas, pemain pendukung lainnya ada Marcella Zalianty (sebagai Permaisuri. Sayang tokoh yg diperankannya kurang banyak bicara, tapi saya tahu Marcella salah satu aktris berbakat), Marsha Timothy (sebagai Bidadari Angin Timur. Saya tidak tahu apakah tokoh ini juga ada atau tidak dalam versi komik. Kalau memang tidak ada, sepertinya memang sedikit berlebihan sih...), Cecep Arif Rahman (Bajak Laut Bagaspati), Lukman Sardi (Werku Alit), Yayu W. Unru (Kakek Segala Tahu), Dian Sidik (Kalingundil) dan Rifnu Wikana (Kalasrenggi).
Penulis Skenario terdiri dari Seno Gumira Ajidarma (penulis kesukaan saya ini), Tumpal Tampubolon dan Sheila Timothy. Wiro Sableng berdurasi 128 menit. Genre Action, Comedy, Adventure. Sudah dilengkapi subbtittle juga, so penonton dari kalangan ekspatriat tetap bisa menikmati film ini. Yg saya bahas ini film anyar dan nggak rugi merogoh kocek untuk nonton film yg satu ini. Masih tayang lho ini di bioskop. Yg belum #sableng silahkan ke bioskop. Eh... 😄
Oya,
Kalau boleh saran, penonton Indonesia sepertinya banyak yg belum bisa memilah apakah sebuah film layak ditonton anak-anak di bawah usia tertentu atau tidak. Selama nonton, kami terganggu sekali dengan tendangan kaki anak-anak batita di kursi di belakang kami. Sorry to say ya, saya bilang orangtuanya goblok. Bukan hanya karena tidak melarang anak-anak mengganggu kenyamanan oranglain tapi lebih karena tidak menyeleksi dulu apakah ini film yg layak ditonton anak-anak batita atau tidak. Banyak sekali adegan perkelahian yg sadis dalam Wiro Sableng. Anak kecil-kecil tentu belum siap menyaksikan. Jelas dikatakan rating Wiro Sableng adalah PG-13 (parental guiding-13 yg artinya anak-anak yg boleh nonton adalah yg sudah berusia 13 tahun ke atas dan tetap harus dengan bimbingan orangtua). Orangtua idealnya rajin mengedukasi diri, banyak upgrade ilmu, cari-cari bacaan dan pengetahuan biar paham banyak hal penting, termasuk soal parenting. Harus cerdas milih pola pengasuhan mana yg kira-kira paling cocok diterapkan di rumah. Ini juga berlaku buat saya dan suami. Anak kami sekarang usia 16 jelang 17 tahun di Bulan Pebruari nanti, tapi kami tetap selektif memilihkan tontonan dan bacaannya. Tidak sembarangan, asal ajak-asal beli. Ngatur cenderung mengekang juga nggak tapi mengarahkan anak itu perlu, menurut kami.
Selamat menonton ya. Wassalam.
.
#wirosableng
📷 Instagram Vino G. Bastian, Yayan Ruhian, Sherina Munaf, Andy Rif, Hanata Rue.
Komentar
Posting Komentar